Selasa, 24 Februari 2009

Awal Karir Slank


Slank adalah sebuah grup musik terkenal di Indonesia. Dibentuk oleh Bimbim pada 26 Desember 1983 karena bosan bermain musik menjadi cover band dan punya keinginan yang kuat untuk mencipta lagu sendiri.

Awal Karir

Cikal bakal lahirnya Slank adalah sebuah grup bernama Cikini Stones Complex (CSC) bentukan Bimo Setiawan Sidharta (Bimbim) pada awal tahun 80-an. Band ini hanya memainkan lagu-lagu Rolling Stones dan tak mau memainkan lagu dari band lain, alhasil mereka akhirnya jenuh dan menjelang akhir tahun 1983 grup ini dibubarkan.


[1]

Bimbim meneruskan semangat bermusik mereka dengan kedua saudaranya Denny dan Erwan membentuk Red Evil yang kemudian berganti nama jadi Slank[2], sebuah nama yang diambil begitu saja dari cemoohan orang yang sering menyebut mereka cowok selengean[1] dengan personel tambahan Bongky (gitar) dan Kiki (gitar). Kediaman Bimbim di Jl. Potlot 14 jadi markas besar mereka.

Mereka sempat tampil di beberapa pentas dengan membawakan lagu-lagu sendiri sebelum Erwan memutuskan mundur karena merasa tidak punya harapan di Slank.[1] Dengan perjuangan panjang terbentuklah formasi ke-13, Bimbim, Kaka, Bongky, Pay dan Indra, Slank baru solid.[2]

Dengan formasi Bimbim (Drum), Bongky (Bass), Pay (Gitar), Kaka (Vokal) dan Indra (Keyboard) mereka mulai membuat demo untuk ditawarkan ke perusahaan rekaman.[1]

Setelah berulang kali ditolak, akhirnya tahun 1990 demonya diterima dan mulai rekaman debut album Suit-Suit... He He He (Gadis Sexy). Album yang menampilkan hit Memang dan Maafkan itu meledak dipasaran sehingga mereka pun diganjar BASF Award untuk kategori pendatang baru terbaik. Album kedua mereka, Kampungan pun meraih sukses yang sama. [1]


Narkoba

Keterlibatan para personelnya dengan narkoba sempat melahirkan keretakan di tubuh band yang bermarkas di jalan Potlot ini. Pada saat menggarap album keenam (Lagi Sedih), Bimbim selaku leader akhirnya memutuskan untuk memecat Bongky, Pay dan Indra.[1] Kaka dan Bimbim tetap menggarap album ke-6 dengan bantuan additional player[2].

Sebagai gantinya mereka merekrut Ivanka (Bass), Mohamad Ridho Hafiedz (Ridho) dan Abdee Negara (Abdee). Formasi ini bertahan hingga saat ini dan mereka terus melahirkan karya-karya yang menegaskan eksistensi mereka di dunia musik Indonesia.[1]



Diskografi

  1. 1990 - Suit-Suit....Hehehe (Gadis Sexy)
  2. 1991 - Kampungan
  3. 1993 - Piss
  4. 1995 - Generasi Biru
  5. 1996 - Minoritas
  6. 1996 - Lagi Sedih
  7. 1997 - Tujuh
  8. 1998 - Mata Hati Reformasi
  9. 1999 - 999+09
  10. 2001 - Virus
  11. 2003 - Satu Satu
  12. 2003 - Bajakan!
  13. 2004 - Road to Peace
  14. 2005 - PLUR
  15. 2006 - Slankissme
  16. 2007 - Slow But Sure
  17. 2007 - Original Soundtrack "Get Married"
  18. 2008 - Slank - The Big Hip
  19. 2008 - Anthem For The Broken Hearted
  20. 2009 - Original Soundtrack Generasi Biru

Read More......

J-Rocks


J-Rocks adalah band yang berdiri pada tahun 2003 dengan personil Iman (vokal, gitar), Sony (gitar), Wima (bas), dan Anton (drum). Aliran band mereka adalah Japanese pop/rock. Album perdana mereka, Topeng Sahabat dirilis pada tahun 2005 dan mengisi dua lagu di album OST Dealova yaitu "Into the Silent" dan "Serba Salah". Saat ini mereka dinaungi oleh label Aquarius Musikindo. Pencinta J-Rocks biasa disebut J-Rockstars.

Banyak fans fanatik band Jepang L'Arc~en~Ciel di Indonesia yang menuding bahwa dalam membuat lagunya, J-rocks meniru lagu-lagu L'Arc~en~Ciel. Sangat wajar bila beberapa lagu J-rocks mirip dengan lagu-lagu Laruku karena J-rocks memang terinspirasi oleh band yang satu ini.[rujukan?] Dan juga J-Rocks terinspirasi oleh Muse.[rujukan?]

Pada album keduanya, Spirit, J-Rocks memasukkan bermacam-macam beat dan aliran musik seperti Rock 'n Roll (Juwita Hati), Waltz/ Victorian (Tersesal), Blues, Classic, dan masih banyak lagi. Di album kedua ini, J-Rocks juga menampilkan Prisa.

J-Rocks


Nama J-rocks sempat menjadi kontroversi di kalangan pecinta musik jepang di indonesia. Nama ini seakan mewakili genre Japanese Rock. Inspirasi nama J-ROCKSTARS adalah dari sebuah stiker bertuliskan ROCKSTAR, dengan harapan suatu saat akan menjadi Rockstar. Dan ditambahkan huruf J di depannya untuk mewakili band itu sendiri dengan alasan J bisa berarti Jepang karena awalnya mereka memainkan J-Music, Jakarta karena mereka berasal dari Jakarta, Jujur dalam bermusik dalam artian memainkan apa yang bener-bener mereka suka dan ingin memainkan musik yang ber-soul (jiwa). Dan akhirnya karena permasalahan pengucapan akhirnya nama J-ROCKSTARS disingkat menjadi J-ROCKS. Nama J-ROCKSTARS sendiri akhirnya menjadi nama fans J-ROCKS.

Awal 2004 JRS (singkatan dari J-ROCKSTARS) mengikuti festival musik Nescafe Get Started 2004 yang disponsori oleh Nescafe, Trans TV dan Aquarius Musikindo. Mereka berhasil menjuarai festival tersebut dan berkesempatan membuat album kompilasi Nescafe Get Started yang merupakan awal bentuk kerjasama mereka dengan Aquarius Musikindo. Dan akhirnya pertengahan 2005 mereka berhasil meluncurkan album perdana nya yang bertajuk "Topeng Sahabat" dengan label Aquarius.

Band ini semakin dikenal sejak munculnya album kedua. Pada lagu berjudul 'Kau curi lagi' mereka memperkenalkan gitaris wanita, Prisa. Dan pada lagu 'Juwita Hati' mereka membuat video klip di Jepang yang digarap oleh Hedy Suryawan. Selvin,Sato,Boppy pada video klip ini berakting sebagai fans J-Rocks yang mengejar idolanya sampai ke negeri Sakura. Konsep yang menarik membuat video klip ini populer di Indonesia.


Diskografi

Read More......

Ungu



Ungu adalah grup musik Indonesia yang beranggotakan Pasha (penyanyi), Makki (bass), Enda (gitar), Oncy (gitar), dan Rowman (drum). Sampai tahun 2007 mereka telah menghasilkan 4 album dan 2 album mini.

Ungu terbentuk tahun 1996. Motor pembentuknya adalah Ekky (gitar) dan saat itu vokalisnya adalah Michael, sedangkan drum dipegang oleh Pasha Van derr Krabb. Tahun 1997, saat Ungu hendak manggung, Pasha Van derr Krabb 'menghilang' dan posisinya digantikan oleh Rowman. Enda yang sebelumnya adalah roadies-nya Ekky juga ikut bergabung dengan Ungu.

Tahun 2000, Ungu mulai mempersiapkan album pertama mereka, yang akhirnya dirilis 6 Juli 2002 bertajuk Laguku. Sebelumnya, Ungu ikut mengisi 2 lagu di album kompilasi Klik bersama Lakuna, Borneo, Piknik, dan Energy. Ke dua lagu tersebut adalah "Hasrat" dan "Bunga". Single pertama album ini, "Bayang Semu" menjadi ost. sinetron ABG (RCTI). Meski terbilang sukses, album ini baru mendapat Platinum Award setelah hampir 2 tahun album ini dirilis.

Saat hendak masuk dapur rekaman untuk album kedua, Ekky memutuskan keluar. Oncy yang saat itu baru keluar dari Funky Kopral dipilih untuk menggantikan Ekky. Album kedua Ungu Tempat Terindah dirilis Desember 2003. Album ini menjagokan "Karena Dia Kamu" sebagai single pertama dan "Suara Hati" dipilih sebagai single kedua. Baru empat bulan dirilis, penjualannya telah mencapai 80.000 (delapan puluh ribu) kopi. Jumlah yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan album pertama yang 'telah' mendapatkan platinum (150.000 kopi) dalam hitungan waktu satu setengah tahun.[1]

Pada tahun 2005, Ungu menjadi salah satu artis yang berkolaborasi dengan Chrisye di album terbaru Chrisye, "Senyawa".

Album Melayang dirilis Desember 2005. Di albumnya yang ketiga dengan single "Demi Waktu", Ungu mendapat double platinum.[2] Dengan hits Demi Waktu mengantarkan Ungu jadi MTV Exclusive Artis di bulan Desember 2005. Gaung "Demi Waktu" merambah negeri Jiran, Malaysia. Empat perusahaan label berebut untuk mendapatkan hak edar di sana. SRC, perusahaan yang menaungi Siti Nurhaliza akhirnya keluar sebagai pemenang.[3]

Ungu mengeluarkan sebuah mini album untuk menyambut Ramadhan 1427 H bertajuk SurgaMu yang dirilis September 2006.[4] Hanya dalam tempo sepuluh hari sejak rilis mini album SurgaMu, telah terjual sebanyak 150 ribu keping.[5] Bahkan Wakil Presiden Yusuf Kalla memberi penghargaan 'Inspiring' atas album religi SurgaMu. Sayangnya, saat hendak menerima penghargaan di istana Wapres, Ungu yang mengenakan setelah jas yang dipadu celana jeans ditolak masuk ke dalam istana, dengan alasan pakaian yang tak sesuai dengan protokoler istana.[6]

Dalam Penghargaan MTV Indonesia 2006, Ungu masuk dalam 3 nominasi, yaitu Most Favorite Group/Band/Duo, Best Director "Demi Waktu" Abimael Gandy, dan Video of the Year "Demi Waktu".[7]

Ungu dengan dukungan "A Mild Live Productions" dan "Trinity Optima Productions" membuat buku biografi. Buku yang diberi judul "A Mild Live Ungu Book Magazine" itu diluncurkan pada Kamis, 10 Mei 2007, di Jakarta.[8] Dicetak sebanyak 40 ribu eksemplar, buku tersebut memuat biografi masing-masing personil, diskografi Ungu, foto-foto, dan bahkan chord lagu-lagu Ungu.[9]

Ungu juga sering terlibat dalam pembuatan album soundtrack. Ungu pernah menyumbangkan lagu untuk film Buruan Cium Gue yang dilarang edar. Ungu pun menyumbangkan 3 buah lagu untuk film Coklat Stroberi yakni dua lagu baru, "Disini Untukmu" dan "Sahabatku", serta mengikutkan lagu "Berjanjilah" dari album ketiga mereka Melayang.[10]

Dalam ajang "SCTV Music Awards 2007" di Balai Sidang Jakarta (JHCC), Ungu mendapat 4 kemenangan. Album SurgaMu yang diproduseri Trinity/Prosound membawa Ungu menjadi penerima penghargaan 'Album Religi', 'Lagu Paling Ngetop' dan 'Video Klip Paling Ngetop' untuk lagu "Andai Kutahu". Sedangkan Melayang dengan lagu andalan "Tercipta Untukmu" memenangkan kategori 'Album Pop Rock Duo/Grup'.[11]

Ungu kembali merilis album reguler keempatnya bertajuk Untukmu Selamanya. Album ini di-launching di empat negara sekaligus, yaitu 9 Agustus 2007 di Kuala Lumpur, Malaysia, 10 Agustus 2007 di Singapura, 12 Agustus 2007 Hongkong dan puncaknya 15 Agustus 2007 di Jakarta, Indonesia. Lagu andalan dalam album ini antara lain, "Kekasih Gelapku", "Cinta dalam Hati", "Apalah Arti Cinta" dan "Ijinkan Aku".[12]

Menyambut Ramadhan 1428 H, Ungu merilis album religi lagi yang berbentuk mini album bertajuk Para Pencari-Mu. Dalam album ini Ungu berkolaborasi dengan ustad Jeffry Al Buchori.[13] Album ini hanya berisi lima lagu, yaitu "Para PencariMu", "Sembah Sujudku", "Surga Hati", "Sesungguhnya", dan "Tuhanku". Sebelum mini album ini dirilis, tiga dari lima lagu telah terpilih sebagai soundtrack sinetron religi yang tayang selama Bulan Ramadhan.[14]

Ungu kembali meraih penghargaan untuk kategori 'Band Ngetop' di ajang SCTV Awards 2007, yang berlangsung di JCC Senayan Jakarta, Jumat, 24 Agusutus 2007. Dalam ajang itu, Ungu berhasil menyisihkan grup band lainnya, seperti Ada Band, Peterpan, Radja, dan pendatang baru yang mendadak populer, Kangen Band. Pada tahun 2007, Ungu bersama Samsons dan Naff, dijuluki 'The Rising Star' band oleh penyelenggara konser musik akbar Soundrenaline, A Mild Live Productions dan Deteksi Productions, juga oleh raksasa label rekaman Musica Studio.[15]

Kasus

Ketenaran, selain membawa penggemar yang banyak, juga menimbulkan dampak negatif. Seringkali konser Ungu 'memakan' korban. Saat konser di Mojokerto, Jawa Timur, 30 Maret 2006, puluhan wanita pingsan. Sembilan bulan kemudian, tepatnya 19 Desember 2006, konser "Popcoholic with Ungu" di Stadion Widya Mandala Krida, Kedungwuni, Pekalongan berakhir dengan kericuhan yang mengakibatkan 10 orang meninggal dunia dan enam lainnya luka serius karena terinjak-injak dan kekurangan oksigen ketika puluhan ribu orang berdesakan keluar usai menyaksikan konser mereka.[16]

Album

  • 2002: Laguku
  • 2004: Tempat Terindah
  • 2005: Melayang
  • 2007: Untukmu Selamanya

Album Religi

  • 2006: SurgaMu
  • 2007: Para PencariMu
  • 2008: Aku Dan Tuhanku

Album Soundtrack

  • 2007: Coklat Stroberi OST
  • 2007: Ayat-Ayat Cinta OST

Read More......

Koes Plus,,,, Band Legendaris Indonesia


Koes Plus adalah grup musik Indonesia yang dibentuk pada tahun 1969 sebagai kelanjutan dari grup Koes Bersaudara. Grup musik yang terkenal pada dasawarsa 1970-an ini sering dianggap sebagai pelopor musik pop dan rock 'n roll di Indonesia. Sampai sekarang, grup musik ini kadang masih tampil di pentas musik membawakan lagu-lagu lama mereka, walaupun hanya tinggal dua anggotanya (Yon dan Murry) yang aktif.

Lagu-lagu mereka banyak dibawakan oleh pemusik lain dengan aransemen baru. Sebagai contoh, Lex's Trio membuat album yang khusus menyanyikan ulang lagu-lagu Koes Plus, Cintamu T'lah Berlalu yang dinyanyikan ulang oleh Chrisye, serta Manis dan Sayang yang dibawakan oleh Kahitna.


Anggota grup

Koes Bersaudara

  1. John Koeswoyo
  2. Tonny Koeswoyo
  3. Yon Koeswoyo
  4. Yok Koeswoyo
  5. Nomo Koeswoyo

Koes Bersaudara

  1. Tonny Koeswoyo
  2. Yon Koeswoyo
  3. Yok Koeswoyo
  4. Nomo Koeswoyo

'setelah keluar dari penjara'

Koes Plus

  1. Tonny Koeswoyo
  2. Yon Koeswoyo
  3. Yok Koeswoyo
  4. Murry

Era Orde Lama

Pada Kamis 1 Juli 1965, sepasukan tentara dari Komando Operasi Tertinggi (KOTI) menangkap kakak beradik Tony, Yon, dan Yok Koeswoyo dan mengurung mereka di LP Glodok, kemudian Nomo Koeswoyo atas kesadaran sendiri, datang menyusul. Adik Alm Tony Koeswoyo itu rupanya memilih "mangan ora mangan kumpul" ketimbang berpisah dari saudara-saudara tercinta. Adapun kesalahan mereka adalah karena selalu memainkan lagu - lagu The Beatles yang dianggap meracuni jiwa generasi muda saat itu. Sebuah tuduhan tanpa dasar hukum dan cenderung mengada ada, mereka dianggap memainkan musik "ngak ngek ngok" istilah Pemerintahan berkuasa saat itu, musik yg cenderung imperialisme pro barat. Dari penjara justru menghasilkan lagu-lagu yang sampai saat sekarang tetap menggetarkan, "Didalam Bui", "jadikan aku dombamu", "to the so called the guilties", dan "balada kamar 15". 29 September 1965, sehari sebelum meletus G 30 S-PKI, mereka dibebaskan tanpa alasan yang jelas.



Dari Koes Bersaudara menjadi Koes Plus

Dari kelompok Koes Bersaudara ini lahir lagu-lagu yang sangat populer seperti “Bis Sekolah”,“ Di Dalam Bui”, “Telaga Sunyi”, “Laguku Sendiri” dan masih banyak lagi. Satu anggota Koes Bersaudara, Nomo Koeswoyo keluar dan digantikan Murry sebagai drummer. Walaupun penggantian ini awalnya menimbulkan masalah dalam diri salah satu personalnya yakni Yok yang keberatan dengan orang luar. Nama Bersaudara seterusnya diganti dengan Plus, artinya plus orang luar: Murry.

Sebenarnya lagu-lagu Koes Bersaudara lebih bagus dari segi harmonisasi ( seperti lagu “Telaga Sunyi”, “Dewi Rindu” atau “Bis Sekolah”) dibanding lagu-lagu Koes Plus. Saat itu Nomo, selain bermusik juga mempunya pekerjaan sampingan. Sementara Tonny menghendaki totalitas dalam bermusik yang membuat Nomo harus memilih. Akhirnya Koes Bersaudara harus berubah. Kelompok Koes Plus dimotori oleh almarhum Tonny Koeswoyo (anggota tertua dari keluarga Koeswoyo). Koes Plus dan Koes Bersaudara harus dicatat sebagai pelopor musik pop di Indonesia. Sulit dibayangkan sejarah musik pop kita tanpa kehadiran Koes Bersaudara dan Koes Plus.

Tradisi membawakan lagu ciptaan sendiri adalah tradisi yang diciptakan Koes Bersaudara. Kemudian tradisi ini dilanjutkan Koes Plus dengan album serial volume 1, 2 dan seterusnya. Begitu dibentuk, Koes Plus tidak langsung mendapat simpati dari pecinta musik Indonesia. Piringan hitam album pertamanya sempat ditolak beberapa toko kaset. Mereka bahkan mentertawakan lagu “Kelelawar” yang sebenarnya asyik itu.

Kemudian Murry sempat ngambek dan pergi ke Jember sambil membagi-bagikan piringan hitam albumnya secara gratis pada teman-temannya. Dia bekerja di pabrik gula sekalian main band bersama Gombloh lewat group Lemon Trees. Tonny yang kemudian menyusul Murry untuk diajak kembali ke Jakarta. Baru setelah lagu “Kelelawar” diputar di RRI orang lalu mencari-cari album pertama Koes Plus. Beberapa waktu kemudian lewat lagu-lagunya “Derita”, “Kembali ke Jakarta”, “Malam Ini”, “Bunga di Tepi Jalan” hingga lagu “Cinta Buta”, Koes Plus mendominasi musik Indonesia waktu itu.


Kiblat Musik Pop Indonesia

Dengan adanya tuntutan dari produser perusahaan rekaman maka group-group lain yang “seangkatan” seperti Favourites, Panbers, Mercy's, D'Lloyd menjadikan Koes Plus sebagai “kiblat”, sehingga group-group ini selalu meniru apa yang dilakukan Koes Plus, pembuatan album di luar pop Indonesia, seperti pop melayu dan pop jawa menjadi trend group-group lain setelah Koes Plus mengawalinya.

"Seandainya kelompok ini lahir di Inggris atau AS bukan tidak mungkin akan menggeser popularitas Beatles"[rujukan?]

“Lagu Nusantara I” (Volume 5), “Oh Kasihku” (Volume 6), “Mari-Mari” (Volume 7), “Diana” dan “Kolam Susu” ( Volume 8) merajai musik pop waktu itu. Puncak kejayaan Koes Plus terjadi ketika mereka mengeluarkan album Volume 9 dengan lagu yang sangat terkenal “Muda-Mudi” (yang diciptakan Koeswoyo, bapak dari Tonny, Yon dan Yok). Disusul lagu “Bujangan” dan “Kapan-Kapan” dari volume 10. Masih berlanjut dengan lagu “Nusantara V” dari album Volume 11 dan “Cinta Buta” dari album Volume 12.

Bersamaan dengan itu Koes Plus juga mengeluarkan album pop Jawa dengan lagu yang dikenal dari tukang becak, ibu-ibu rumah tangga, hinga anak-anak muda, yaitu “Tul Jaenak” dan “Ojo Nelongso”. Belum lagi lagu mereka yang berirama melayu seperti “Mengapa”, “Cinta Mulia” dan lagu keroncongnya yang berjudul “Penyanyi Tua”. Sayang sekali di setiap album yang mereka keluarkan tidak ada dokumentasi bulan dan tahun, sehingga susah melacak album tertentu dikeluarkan tahun berapa. Bahkan tidak ada juga kata-kata pengantar lainnya. Album mereka baru direkam secara teratur mulai volume VIII setelah ditandatangani kontrak dengan Remaco. Sebelumnya perusahaan yang merekam album-album mereka adalah “Dimita”.

Pada tahun 1972-1976 udara Indonesia benar-benar dipenuhi oleh lagu-lagu Koes Plus. Baik radio atau orang pesta selalu mengumandangkan lagu Koes Plus. Barangkali tidak ada orang-orang Indonesia yang waktu itu masih berusia remaja yang tidak mengenal Koes Plus. Kapan Koes Plus mengeluarkan album baru selalu ditunggu-tunggu pecinta Koes Plus dan masyarakat umum.

Tahun 1972 Koes Plus sempat menjadi band terbaik dalam Jambore Band di Senayan. Semua peserta menyanyikan lagu Barat berbahasa Inggris. Hanya Koes Plus yang berani tampil beda dengan menyanyikan lagu “Derita” dan “Manis dan Sayang”.


Rekor Album

Dari informasi yang dikirim seorang penggemar Koes Plus, ternyata prestasi Koes Plus memang luar biasa. Pada tahun 1974 Koes Plus mengeluarkan 22 album, yaitu terdiri dari album lagu-lagu baru dan album-album "the best" termasuk album-album instrumentalia, yang dibuat dari instrument asli Koes Plus atau rekaman "master" yang kemudian diisi oleh permainan saxophone Albert Sumlang, seorang pemain dari group the Mercy's. Jadi rata-rata mereka mengeluarkan 2 album dalam satu bulan. Tahun 1975 ada 6 album. Kemudian tahun 1976 mereka mengeluarkan 10 album. Mungkin rekor ini pantas dicatat di dalam Guinness Book of Record. Dan hebatnya, lagu-lagu mereka bukan lagu ‘asal jadi’, tetapi memang hampir semua enak didengar. Bukti ini merupakan jawaban yang mujarab karena banyak yang mengkritik lagu-lagu Koes Plus cuma mengandalkan “tiga jurus”: kunci C-F-G.

Karena banyak jasanya dalam pengembangan musik, masyarakat memberikan tanda penghargaan terhadap prestasinya menjadi kelompok legendaris dengan diberikannya tanda penghargaan melalui "Legend Basf Award, tahun 1992.Prestasi yang dimiliki disamping masa pengabdiannya dibidang seni cukup lama, produk hasil ciptaan lagunya pun juga memadai karena sejak tahun 1960 sampai sekarang berhasil menciptakan 953 lagu yang terhimpun dalam 89 album. Prestasi hasil ciptaan lagu untuk periode kelompok Koes Bersaudara sebanyak 203 lagu (dalam 17 album),sedang untuk periode kelompok Koes Plus sebanyak 750 lagu dalam 72 album (Kompas,13 September 2001).

Salah satu anggota Koes Plus mengatakan bahwa mereka dibayar sangat mahal pada masa jayanya. Yon mengungkapkan bahwa pada tahun 1975 mereka manggung di Semarang. "Waktu itu pada tahun 1975, kami telah dibayar Rp 3 juta saat pentas di Semarang," kenang dia. Padahal, saat itu harga sebuah mobil Corona tahun 1975 kira-kira Rp 3,750 juta. Bila dikurs saat ini bayaran tersebut kurang lebih sama dengan Rp 150 juta.(Suara Merdeka, 4 Mei 2001)

Waktu itu, Rp 3,5 juta sangat tinggi, mengingat mobil sedan baru Rp 3 juta. Jika dikurskan dengan nilai uang sekarang, jumlah itu sama dengan Rp 200 juta sampai Rp 300 juta. Jumlah penonton melimpah ruah tidak seperti sekarang, kenang Yon. (Suara Merdeka, 23 Oktober 2001).

Setelah itu popularitas Koes Plus mulai redup. Mungkin karena generasi sudah berganti dan selera musiknya berubah. Koes Plus vakum sementara dan Nomo masuk lagi menggantikan Murry, sekitar akhir 1976-an. Koes Bersaudara terbentuk lagi dan langsung ngetop dengan lagunya “Kembali” yang keluar tahun 1977. Murry bersama groupnya Murry's Group juga cukup menggebrak dengan lagunya “Mamiku-papiku”. Tidak bertahan lama tahun 1978 kembali terbentuk Koes Plus. Lagu barunya, “Pilih Satu” juga langsung populer. Setelah itu keluar lagu “Cinta”, dengan aransemen orchestra, yang benar-benar berbeda dengan lagu Koes Plus yang lain. Kemudian populer juga album melayu mereka yang memuat lagu “Cubit-Cubitan” dan “Panah Asmara”. Tetapi Koes Plus generasi ini tidak lagi sepopuler sebelumnya. Walaupun, kalau disimak lagu-lagu yang lahir setelah 1978, masih banyak lagu mereka yang bagus.

Nasib Koes Plus kini sangat tragis. Seperti kata Yon suatu ketika bahwa Koes Plus hanya besar namanya tetapi tidak punya apa-apa. Ucapan ini memang pas untuk mewakili keadaan personel Koes Plus. Mereka tidak mendapatkan uang dari hasil penjualan kaset yang berisi lagu-lagu lama mereka. Tidak seperti para penyanyi/pemusik masa kini yang gaya hidupnya “wah” karena dari segi finansial pendapatannya sebagai penyanyi/pemusik cukup terjamin. Begitu juga bekas group-group tersohor seperti Beatles, atau Led Zeppelin, mereka hidup dengan enak hanya dari royalti kaset/VCD/CD/DVD yang mereka hasilkan. Sampai anak-anak dan istri mereka pun menikmati kelimpahan finansial ini.

Koes Plus hanya dibayar sekali untuk setiap album yang dihasilkan. Tidak ada royalti, tidak ada tambahan fee untuk setiap CD/kaset yang terjual. Maka tidak heran ketika tahun 1992 Yon harus jualan batu akik untuk menghidupi rumah tangganya. Sementara kaset dan CD lagunya masih laris terjual di Indonesia. Sekarang pun di usianya yang ke-63 Yon dan kawan-kawan (Murry beberapa kali tidak tampil karena sakit) membawa nama Koes Plus harus manggung untuk mendapatkan uang. Dengan sisa-sisa suara dan kekuatannya mereka harus menjual suara dan tenaganya. Yon memang tidak merasakan ini sebagai beban. Dia bersyukur lagunya masih dicintai orang. Tetapi kita prihatin mendengar kabar seperti ini.



Read More......

Semua Taentang Gombloh..


Gombloh (lahir di Jombang, Jawa Timur, 14 Juli 1948 – wafat di Surabaya, Jawa Timur, 9 Januari 1988 pada umur 39 tahun) adalah seorang penyanyi Indonesia. Ia dilahirkan dengan nama asli Soedjarwoto Soemarsono di Jombang sebagai anak ke-4 dari enam bersaudara dalam keluarga Slamet dan Tatoekah. Slamet adalah seorang pedagang kecil yang hidup dari menjual ayam potong di pasar tradisional di kota mereka.

Sebagai keluarga sederhana, Slamet sangat berharap agar anak-anaknya dapat bersekolah setinggi mungkin hingga memiliki kehidupan yang lebih baik.


Pendidikan

Gombloh mengenyam pendidikan di SMAN 5 Surabaya dan sempat belajar di jurusan Arsitektur Institut Teknologi Sepuluh Nopember, (ITS) Surabaya, namun tidak selesai. Meskipun Gombloh tergolong pintar, ia tidak pernah berniat kuliah di ITS. Karena itulah ia sering mengelabui ayahnya dengan berangkat ke sekolah, namun sekitar pk. 10 pagi ia kembali ke rumah dan tidur. Kelakuannya ini akhirnya diketahui ayahnya setelah Slamet mendapat surat dari ITS yang memberikan peringatan keras karena Gombloh terlalu banyak bolos.

Gombloh bereaksi dengan menghilang ke Bali dan bertualang sebagai seniman. Jiwanya yang bebas tidak dapat dikekang oleh disiplin yang ketat dan kuliah yang teratur.

Karakter lagu ciptaannya

Gombloh adalah pencipta lagu balada sejati. Kerja samanya dengan Leo Kristi dan Franky Sahilatua di kelompok "Lemon Trees" membuatnya dekat dengan gaya orchestral rock.

Kehidupan sehari-hari rakyat kecil banyak digambarkan dalam lagu-lagunya, seperti Doa Seorang Pelacur, Kilang-Kilang, Poligami Poligami, Nyanyi Anak Seorang Pencuri, Selamat Pagi Kotaku. Sebagaimana penyanyi balada semasanya, seperti Iwan Fals dan Ebiet G. Ade, Gombloh juga tergerak menulis lagu tentang (kerusakan) alam. Lagu-lagu cintanya cenderung "nyeleneh", sama seperti karya Iwan Fals atau Doel Sumbang, misalnya Lepen ("got" dalam bahasa Jawa, tetapi di sini adalah singkatan dari "lelucon pendek").

Namun ciri khasnya adalah dari lagu-lagu ciptaannya yang bertema nasionalis, seperti Dewa Ruci, Gugur Bunga, Gaung Mojokerto-Surabaya, Indonesia Kami, Indonesiaku, Indonesiamu, Pesan Buat Negeriku, dan BK, lagu yang bertutur tentang Bung Karno, sang proklamator. Lagunya Kebyar Kebyar banyak dinyanyikan di masa perjuangan menuntut Reformasi.

Ia pernah pula merilis album berbahasa Jawa dengan interpretasinya yang progresif berjudul "Sekar Mayang". Sampai sekarang, rintisannya ini belum pernah diikuti oleh musisi lainnya. Hong Wilaheng, salah satu lagu berbahasa Jawa dari album "Berita Cuaca", mendapat pengaruh kuat dari gaya bernyanyi Leo Kristi dan liriknya diambil dari Serat Wedhatama.

Lagu-lagu karya Gombloh sempat diangkat dalam penelitian Martin Hatch seorang peneliti dari Universitas Cornell dan ditulis sebagai karya ilmiah yang berjudul "Social Criticsm in the Songs of 1980’s Indonesian Pop Country Singers", yang dibawakan dalam seminar musik The Society of Ethnomusicology di Toronto, Kanada pada 2000.


Kematian

Gombloh meninggal dunia di Surabaya pada 9 Januari 1988 setelah lama menderita penyakit. Tubuhnya yang kurus memang banyak menyimpan berbagai penyakit, ditambah kebiasaan merokoknya yang sulit dihilangkan. Menurut salah seorang temannya, sering kali Gombloh mengeluarkan darah bila sedang bicara atau bersin. Namun Gombloh pantang menyerah. Karena itulah ia mampu bertahan hidup cukup lama, meskipun dengan tubuh yang penyakitan.

Sangat disayangkan, Pemerintah Indonesia baru memberi perhatian terhadap karya seninya setelah dia meninggal untuk Lagu Gebyar-Gebyar. Semasa hidupnya lagu ini tidak mendapat perhatian sama sekali.


Mengenang Gombloh

Pada 1996 sejumlah seniman Surabaya membentuk Solidaritas Seniman Surabaya dengan tujuan menciptakan suatu kenangan untuk Gombloh yang dianggap sebagai pahlawan seniman kota itu. Mereka sepakat membuat patung Gombloh seberat 200 kg dari perunggu. Patung ini ditempatkan di halaman Taman Hiburan Rakyat Surabaya, salah satu pusat kesenian di kota itu.


Diskografi

  1. Nadia dan Atmosphere (1978)
  2. Mawar Desa (1978)
  3. Kadar Bangsaku (1979)
  4. Kebyar Kebyar (1979)
  5. Pesan Buat Negeriku (1980)
  6. Sekar Mayang (1981, berbahasa Jawa)
  7. Terimakasih Indonesiaku (1981)
  8. Pesan Buat Kaum Belia (1982)
  9. Berita Cuaca (1982)
  10. Kami Anak Negeri Ini (1983)
  11. Gila (1983)
  12. 1/2 Gila (1984)
  13. Semakin Gila (1986)
  14. Apel (1986)
  15. Apa Itu Tidak Edan (1987)


Read More......

Biografi Iwan Fals


Iwan Fals yang bernama lengkap Virgiawan Listanto (lahir di Jakarta, 3 September 1961; umur 47 tahun) adalah seorang penyanyi beraliran balada yang menjadi salah satu legenda hidup di Indonesia.

Lewat lagu-lagunya, ia 'memotret' suasana sosial kehidupan Indonesia (terutama Jakarta) di akhir tahun 1970-an hingga sekarang. Kritik atas perilaku sekelompok orang (seperti Wakil Rakyat, Tante Lisa), empati bagi kelompok marginal (misalnya Siang Seberang Istana, Lonteku), atau bencana besar yang melanda Indonesia (atau kadang-kadang di luar Indonesia, seperti Ethiopia) mendominasi tema lagu-lagu yang dibawakannya. Iwan Fals tidak hanya menyanyikan lagu ciptaannya tetapi juga sejumlah pencipta lain.

Iwan yang juga sempat aktif di kegiatan olahraga, pernah meraih gelar Juara II Karate Tingkat Nasional, Juara IV Karate Tingkat Nasional 1989, sempat masuk pelatnas dan melatih karate di kampusnya, STP (Sekolah Tinggi Publisistik). Iwan juga sempat menjadi kolumnis di beberapa tabloid olah raga.

Kharisma seorang Iwan Fals sangat besar. Dia sangat dipuja oleh kaum 'akar rumput'. Kesederhanaannya menjadi panutan para penggemarnya yang tersebar diseluruh nusantara. Para penggemar fanatik Iwan Fals bahkan mendirikan sebuah yayasan pada tanggal 16 Agustus 1999 yang disebut Yayasan Orang Indonesia atau biasa dikenal dengan seruan Oi. Yayasan ini mewadahi aktivitas para penggemar Iwan Fals. Hingga sekarang kantor cabang OI dapat ditemui setiap penjuru nusantara dan beberapa bahkan sampai ke manca negara

Biografi

Masa kecil Iwan Fals dihabiskan di Bandung, kemudian ikut saudaranya di Jeddah, Arab Saudi selama 8 bulan. Bakat musiknya makin terasah ketika ia berusia 13 tahun, di mana Iwan banyak menghabiskan waktunya dengan mengamen di Bandung. Bermain gitar dilakukannya sejak masih muda bahkan ia mengamen untuk melatih kemampuannya bergitar dan mencipta lagu. Ketika di SMP, Iwan menjadi gitaris dalama paduan suara sekolah.

Selanjutnya, datang ajakan untuk mengadu nasib di Jakarta dari seorang produser. Ia lalu menjual sepeda motornya untuk biaya membuat master. Iwan rekaman album pertama bersama rekan-rekannya, Toto Gunarto, Helmi, Bambang Bule yang tergabung dalam Amburadul, namun album tersebut gagal di pasaran dan Iwan kembali menjalani profesi sebagai pengamen. Album ini sekarang menjadi buruan para kolektor serta fans fanatik Iwan Fals.

Setelah dapat juara di festival musik country, Iwan ikut festival lagu humor. Arwah Setiawan (almarhum), lagu-lagu humor milik Iwan sempat direkam bersama Pepeng, Krisna, Nana Krip dan diproduksi oleh ABC Records, tapi juga gagal dan hanya dikonsumsi oleh kalangan tertentu saja. Sampai akhirnya, perjalanan Iwan bekerja sama dengan Musica Studio. Sebelum ke Musica, Iwan sudah rekaman sekitar 4-5 album. Di Musica, barulah lagu-lagu Iwan digarap lebih serius. Album Sarjana Muda, misalnya, musiknya ditangani oleh Willy Soemantri.

Iwan tetap menjalani profesinya sebagai pengamen. Ia mengamen dengan mendatangi rumah ke rumah, kadang di Pasar Kaget atau Blok M. Album Sarjana Muda ternyata banyak diminati dan Iwan mulai mendapatkan berbagai tawaran untuk bernyanyi. Ia kemudian sempat masuk televisi setelah tahun 1987. Saat acara Manasuka Siaran Niaga disiarkan di TVRI, lagu Oemar Bakri sempat ditayangkan di TVRI. Ketika anak kedua Iwan, Cikal lahir tahun 1985, kegiatan mengamen langsung dihentikan.

Selama Orde Baru, banyak jadwal acara konser Iwan yang dilarang dan dibatalkan oleh aparat pemerintah, karena lirik-lirik lagunya dianggap dapat memancing kerusuhan. Pada awal karirnya, Iwan Fals banyak membuat lagu yang bertema kritikan pada pemerintah. Beberapa lagu itu bahkan bisa dikategorikan terlalu keras pada masanya, sehingga perusahaan rekaman yang memayungi Iwan Fals enggan atau lebih tepatnya tidak berani memasukkan lagu-lagu tersebut dalam album untuk dijual bebas. Belakangan Iwan Fals juga mengakui kalau pada saat itu dia sendiri juga tidak tertarik untuk memasukkan lagu-lagu ini ke dalam album.[rujukan?]

Rekaman lagu-lagu yang tidak dipasarkan tersebut kemudian sempat diputar di sebuah stasiun radio yang sekarang sudah tidak mengudara lagi. Iwan Fals juga pernah menyanyikan lagu-lagu tersebut dalam beberapa konser musik, yang mengakibatkan dia berulang kali harus berurusan dengan pihak keamanan dengan alasan lirik lagu yang dinyanyikan dapat mengganggu stabilitas negara.[rujukan?] Beberapa konser musiknya pada tahun 80-an juga sempat disabotase dengan cara memadamkan aliran listrik dan pernah juga dibubarkan secara paksa hanya karena Iwan Fals membawakan lirik lagu yang menyindir penguasa saat itu.

Pada bulan April tahun 1984 Iwan Fals harus berurusan dengan aparat keamanan dan sempat ditahan dan diinterogasi selama 2 minggu gara-gara menyanyikan lirik lagu Demokrasi Nasi dan Pola Sederhana juga Mbak Tini pada sebuah konser di Pekanbaru. Sejak kejadian itu, Iwan Fals dan keluarganya sering mendapatkan teror.[rujukan?] Hanya segelintir fans fanatik Iwan Fals yang masih menyimpan rekaman lagu-lagu ini, dan sekarang menjadi koleksi yang sangat berharga.

Saat bergabung dengan kelompok SWAMI dan merilis album bertajuk SWAMI pada 1989, nama Iwan semakin meroket dengan mencetak hits Bento dan Bongkar yang sangat fenomenal. Perjalanan karir Iwan Fals terus menanjak ketika dia bergabung dengan Kantata Takwa pada 1990 yang didukung penuh oleh pengusaha Setiawan Djodi. Konser-konser Kantata Takwa saat itu sampai sekarang dianggap sebagai konser musik yang terbesar dan termegah sepanjang sejarah musik Indonesia.[rujukan?]

Setelah kontrak dengan SWAMI yang menghasilkan dua album (SWAMI dan SWAMI II) berakhir, dan disela Kantata (yang menghasilkan Kantata Takwa dan Kantata Samsara), Iwan Fals masih meluncurkan album-album solo maupun bersama kelompok seperti album Dalbo yang dikerjakan bersama sebagian mantan personil SWAMI.

Sejak meluncurnya album Suara Hati pada 2002, Iwan Fals telah memiliki kelompok musisi pengiring yang tetap dan selalu menyertai dalam setiap pengerjaan album maupun konser. Menariknya, dalam seluruh alat musik yang digunakan baik oleh Iwan fals maupun bandnya pada setiap penampilan di depan publik tidak pernah terlihat merek maupun logo. Seluruh identitas tersebut selalu ditutupi atau dihilangkan. Pada panggung yang menjadi dunianya, Iwan Fals tidak pernah mengizinkan ada logo atau tulisan sponsor terpampang untuk menjaga idealismenya yang tidak mau dianggap menjadi wakil dari produk tertentu.


Read More......

Sejarah Terbentuknya Slikpknot dan Para Anggotanya


Slipknot adalah sebuah band beraliran Nu Metal dari Des Moines, Iowa yang dibentuk pada 1995, Band ini telah beberapa kali mengganti anggotanya dan memiliki anggota tetap sejak 1999 yaitu: Sid Wilson, Joey Jordison, Paul Gray, Chris Fehn, James Root, Craig Jones, Shawn "Clown" Crahan, Mick Thomson, dan Corey Taylor. Sampai sekarang Slipknot Telah Nerilis 4 Buah Album, Band ini juga pernah mendapatkan Grammy Awards untuk kategori Best Metal Performance untuk lagu "Before I forget" pada tahun 2006, album ke 5 mereka yang bertajuk "All Hope Is Gone" akan dirilis pada 26 Agustus 2008


Anggota



Mantan anggota


Diskografi

Studio albums

Live albums

Videography

Read More......

Selasa, 17 Februari 2009

Biography Axl Rose


W. Axl Rose (born William Bruce Rose[1] on February 6, 1962) is an American musician, best known as the lead vocalist of hard rock band Guns N' Roses.

Rose grew up in Indiana in a troubled family environment. His love of music was fostered by singing in church, participating in school chorus and studying piano, but his numerous run-ins with the police and activities as a teenager led to his leaving home at a young age. After moving to Los Angeles in 1982, Rose fronted various local bands, eventually forming Guns N' Roses with former L.A. Guns bandmate Tracii Guns.

As lead singer for Guns N' Roses, Rose enjoyed tremendous success, recognition, record and concert ticket sales in the late 1980s and early 1990s before dropping out of the public eye for several years. In 2001, he resurfaced with a new line-up of Guns N' Roses, and has since played periodic concert tours, finally releasing the long delayed Chinese Democracy in 2008.

The only original member still part of the band's line-up, Rose still places high in numerous polls as one of hard rock's all-time greatest frontmen, but is also infamous for his onstage antics and high-profile disputes with former bandmates and others in the entertainment business.

Early years

Rose was born as William Bruce Rose, Jr. in Lafayette, Indiana,[1] the son of Sharon E. Lintner, then 16 years old, and William Bruce Rose, then 20 years old.[2] His father left the family when Rose was two years old. As an adult, after recovering repressed memories in therapy, Rose publicly stated that he was molested by his biological father.[1][3]

Rose's mother remarried in 1966. She changed his name to William Bailey, using the last name of her new husband, Stephen L. Bailey. He has two younger half-siblings – sister Amy and brother Stuart. Rose has stated that he, and his siblings were often beaten by Bailey, sometimes for no reason. Growing up, Rose believed that Bailey was his biological father.[1]

Because of his turbulent upbringing and his mother's reluctance to leave the abusive Bailey, Rose is said to have issues with women. He claimed in an interview with Rolling Stone magazine in April 1992, that during his childhood, he was made to believe that women and sexuality were evil and that due to the violent treatment of his mother by his stepfather he witnessed as an impressionable child, he had been led to think that domestic violence was the normal way of doing things.[1][4]

The Bailey household was deeply religious, and Rose grew up attending a Pentecostal church, where he was required to attend services three to eight times per week.[4] He sang in church from the age of five, and also performed at services with his brother and sister in the "Bailey Trio".[5] Rose was so involved with the church that he even taught Sunday School. Later, he spoke of his disillusion with his religious upbringing:

My particular church was filled with self-righteous hypocrites who were child abusers and child molesters. These were people who'd been damaged in their own childhoods and in their lives. These were people who were finding God but still living with their damage and inflicting it upon their children. I had to go to church anywhere from three to eight times a week. l even taught Bible school while l was being beaten and my sister was being molested.[4]

Axl Rose

Church did provide an outlet for Rose's musical interests. In addition to singing in church, he also participated in his high school chorus and studied piano.[6]

Rose speaks in the baritone register, but his singing voice is a tenor[7] and he can sing parts ranging from bass, to baritone, and to a high falsetto/soprano, and has several different recognized "voices" used in his songs. He has stated that he originally started to develop his range to confuse his chorus teacher in school.[8][5][9]

He attended Jefferson High School in Lafayette.[10] At age 17, while going through papers in his parents' home, Rose learned of his biological father's existence and his own origins, and readopted his birth name, William Rose (although he was still legally William Bailey). He referred to himself as W. Rose only, however, as he did not wish to share a name with his biological father.[1]

After discovering the truth of his background, Rose began "acting out" in earnest. He was in trouble numerous times with the police and was arrested over twenty times on charges such as public drunkenness and assault. At age 16, he was kicked out of his house for not cutting his hair. At this age, Rose also met Izzy Stradlin in a driver's education class.[11] The two bonded over their love of rock music and eventually started playing in bands together. Stradlin eventually left Rose, and Indiana, to go to Los Angeles and focus on music.

Lafayette authorities threatened to charge Rose as a habitual criminal in his late teenage years.[6] When he was 17, on the advice of his lawyer, he left Indiana and began hitchhiking and taking buses across the country.[12] Although he returned to Indiana to visit family from time to time, he left for good in December 1982 and moved to Los Angeles, accompanied by a girlfriend.[13]

Rose eventually adopted the name W. Axl Rose ("Axl" after a band in which he once played [14]), and set out to re-unite with Stradlin. Rose legally changed his name to "W. Axl Rose" in 1986,[8][15] and had the moniker tattooed on his arm.[13]



Read More......

Bob Marley


Robert "Bob" Nesta Marley OM (February 6, 1945 – May 11, 1981) was a Jamaican singer-songwriter and musician. He was the lead singer, songwriter and guitarist for the ska, rocksteady and reggae bands: The Wailers (1964 – 1974) and Bob Marley & the Wailers (1974 – 1981). Marley remains the most widely known and revered performer of reggae music, and is credited for helping spread Jamaican music to the worldwide audience.[1]

Marley's best known hits include "I Shot the Sheriff", "No Woman, No Cry", "Exodus", "Could You Be Loved", "Stir It Up", "Jamming", "Redemption Song", "One Love" and, together with The Wailers, "Three Little Birds",[2] as well as the posthumous releases "Buffalo Soldier" and "Iron Lion Zion". The compilation album, Legend, released in 1984, three years after his death, is the best-selling reggae album ever (10 times platinum in US[3]), with sales of more than 20 million copies.[4][5]

Early life and career

Bob Marley was born in the small village of Nine Mile in Saint Ann Parish, Jamaica as Nesta Robert Marley.[6] A Jamaican passport official would later swap his first and middle names.[7] His father Norval Sinclair Marley was a white Scottish Jamaican. Norval was a Marine officer and captain, as well as a plantation overseer, when he married Cedella Booker, a black Jamaican then eighteen years old.[8] Norval provided financial support for his wife and child, but seldom saw them, as he was often away on trips. In 1955, when Marley was 10 years old, his father died of a heart attack at age 60.[9] Marley suffered racial prejudice as a youth, because of his mixed racial origins and faced questions about his own racial identity throughout his life. He once reflected:

I don't have prejudice against meself. My father was a white and my mother was black. Them call me half-caste or whatever. Me don't dip on nobody's side. Me don't dip on the black man's side nor the white man's side. Me dip on God's side, the one who create me and cause me to come from black and white.[10]

Although Marley recognized his mixed ancestry, throughout his life and because of his beliefs, he self-identified as a black African. In songs such as "Black Progress,", "African Herbsman," "Buffalo Soldier", "War" and others, Marley sings about the struggles of blacks and Africans against opression from the West or "Babylon." [11]

Marley became friends with Neville "Bunny" Livingston (later known as Bunny Wailer), with whom he started to play music. He left school at the age of 14 to make music with Joe Higgs, a local singer and devout Rastafari. It was at a jam session with Higgs and Livingston that Marley met Peter McIntosh (later known as Peter Tosh), who had similar musical ambitions.[12]

In 1962, Marley recorded his first two singles, "Judge Not" and "One Cup of Coffee", with local music producer Leslie Kong. These songs, released on the Beverley's label under the pseudonym of Bobby Martell,[13] attracted little attention. The songs were later re-released on the box set, Songs of Freedom, a posthumous collection of Marley's work.

Musical career

The Wailers

In 1963, Bob Marley, Bunny Wailer, Peter Tosh, Junior Braithwaite, Beverley Kelso, and Cherry Smith formed a ska and rocksteady group, calling themselves "The Teenagers". They later changed their name to "The Wailing Rudeboys", then to "The Wailing Wailers", at which point they were discovered by record producer Coxsone Dodd, and finally to "The Wailers". By 1966, Braithwaite, Kelso, and Smith had left The Wailers, leaving the core trio of Bob Marley, Bunny Wailer, and Peter Tosh.

In 1966, Marley married Rita Anderson, and moved near his mother's residence in Wilmington, Delaware in the United States for a short time, during which he worked as a DuPont lab assistant and on the assembly line at a Chrysler plant, under the alias Donald Marley.[14]

Upon returning to Jamaica, Marley became a member of the Rastafari movement, and started to wear his trademark dreadlocks (see the religion section for more on Marley's religious views).

After a conflict with Dodd, Marley and his band teamed up with Lee "Scratch" Perry and his studio band, The Upsetters. Although the alliance lasted less than a year, they recorded what many consider The Wailers' finest work. Marley and Perry split after a dispute regarding the assignment of recording rights, but they would remain friends and work together again.

Between 1968 and 1972, Bob and Rita Marley, Peter Tosh and Bunny Wailer re-cut some old tracks with JAD Records in Kingston and London in an attempt to commercialize The Wailers' sound. Bunny later asserted that these songs "should never be released on an album … they were just demos for record companies to listen to." Also in 1968, Bob and Rita visited the Bronx to see Johnny Nash's songwriter Jimmy Norman.[15] A three day jam session with Norman and others, including Norman's co-writer Al Pyfrom, resulted in a 24-minute tape of Marley performing several of his own and Norman-Pyfrom's compositions which is, according to Reggae archivist Roger Steffens, rare in that was influenced by pop rather than reggae, as part of the effort to break Marley into American charts.[15] According to an article in The New York Times, Marley experimented on the tape with different sounds, adopting a doo-wop style on "Stay With Me" and "the slow love song style of 1960's artists" on "Splish for My Splash."[15]

The Wailers' first album, Catch a Fire, was released worldwide in 1973, and sold well. It was followed a year later by Burnin', which included the songs "Get Up, Stand Up" and "I Shot The Sheriff". Eric Clapton made a hit cover of "I Shot the Sheriff" in 1974, raising Marley's international profile.

The Wailers broke up in 1974 with each of the three main members going on to pursue solo careers. The reason for the breakup is shrouded in conjecture; some believe that there were disagreements amongst Bunny, Peter, and Bob concerning performances, while others claim that Bunny and Peter simply preferred solo work.

Bob Marley & The Wailers

Despite the breakup, Marley continued recording as "Bob Marley & The Wailers". His new backing band included brothers Carlton and Aston "Family Man" Barrett on drums and bass respectively, Junior Marvin and Al Anderson on lead guitar, Tyrone Downie and Earl "Wya" Lindo on keyboards, and Alvin "Seeco" Patterson on percussion. The "I Threes", consisting of Judy Mowatt, Marcia Griffiths, and Marley's wife, Rita, provided backing vocals.

In 1975, Marley had his international breakthrough with his first hit outside Jamaica, "No Woman, No Cry," from the Natty Dread album. This was followed by his breakthrough album in the US, Rastaman Vibration (1976), which spent four weeks on the Billboard charts Top Ten.

In December 1976, two days before "Smile Jamaica", a free concert organized by the Jamaican Prime Minister Michael Manley in an attempt to ease tension between two warring political groups, Marley, his wife, and manager Don Taylor were wounded in an assault by unknown gunmen inside Marley's home. Taylor and Marley's wife sustained serious injuries, but later made full recoveries. Bob Marley received minor wounds in the chest and arm. The shooting was thought to have been politically motivated, as many felt the concert was really a support rally for Manley. Nonetheless, the concert proceeded, and an injured Marley performed as scheduled, two days after the attempt. When asked why, Marley responded, "the people who are trying to make this world worse aren’t taking a day off. How can I?".[citation needed] The members of the group Zap Pow – which had no radical religious or political beliefs – played as Bob Marley's backup band before a festival crowd of 80,000 while members of the Wailers were still missing or in hiding.[16]

Marley left Jamaica at the end of 1976 for England, where he recorded his Exodus and Kaya albums. Exodus stayed on the British album charts for 56 consecutive weeks. It included four UK hit singles: "Exodus", "Waiting In Vain", "Jamming", "One Love", and a rendition of Curtis Mayfield's hit, "People Get Ready". It was here that he was arrested and received a conviction for possession of a small quantity of cannabis while traveling in London.

In 1978, Marley performed at another political concert in Jamaica, the One Love Peace Concert, again in an effort to calm warring parties. Near the end of the performance, by Marley's request, Manley and his political rival, Edward Seaga, joined each other on stage and shook hands.

Babylon by Bus, a double live album with 13 tracks, was released in 1978 to critical acclaim. This album, and specifically the final track "Jammin'" with the audience in a frenzy, captured the intensity of Marley's live performances.

Survival, a defiant and politically charged album, was released in 1979. Tracks such as "Zimbabwe", "Africa Unite", "Wake Up and Live", and "Survival" reflected Marley's support for the struggles of Africans. His appearance at the Amandla Festival in Boston in July 1979 showed his strong opposition to South African apartheid, which he already had shown in his song "War" in 1976. In early 1980, he was invited to perform at the April 17 celebration of Zimbabwe's Independence Day.

Uprising (1980) was Bob Marley's final studio album, and is one of his most religious productions, including "Redemption Song" and "Forever Loving Jah". It was in "Redemption Song" that Marley sang the famous lyric,

Emancipate yourselves from mental slavery
None but ourselves can free our minds…

Confrontation, released posthumously in 1983, contained unreleased material recorded during Marley's lifetime, including the hit "Buffalo Soldier" and new mixes of singles previously only available in Jamaica.

Read More......